Senin, 08 Mei 2017

Distopia sangar dalam 1984 - George Orwell

Judul Buku : 1984
Pengarang : George Orwell
Penerjemah : Landung Simatupang
Tahun Terbit : 1949/ edisisBahasa Indonesia cetakan kedua edisi III 2016
Penerbit : Bentang Pustaka

Satu buku lagi selesai saya baca tepatnya kemarin sore di salah satu kedai kopi relatif mahal di kota kelahiran saya. Setiap buku tentunya meninggalkan kesan, dan kesan yang ditinggalkan oleh buku 1984 ini mendorong saya membuat blogpost setelah sekian lama blog ini tidak terurus dengan berbagai alasan yang pastinya malas untuk saya jabarkan maupun kalian pahami, sehingga saya putuskan untuk tidak perlu menyebutkannya hehehe.

Tulisan saya sebelum ini tentang Erich Fromm dan pemikirannya tentang cinta, saya ingat betul belum bisa saya rampungkan, dan dengan berat hati sepertinya belum bisa dilanjutkan dalam waktu dekat, kertas orek-orekan-nya hilang dan belum sempat saya cari, sudah pusing dulu melihat tumpukan kertas, buku, dan benda-benda tak jelas yang berserakan di kamar saya, belum ada mood untuk membereskan semuanya, taulah INTP... hahaha

Format dari review buku ini akan sangat berbeda dari tulisan sebelumnya. saya tentu tidak akan membuat semacam intisari untuk novel, ya... akan dianggap spoiler lalu dimaki masyarakat yang membencinya. General review  dan beberapa petikan favorit yang lucu-lucu akan mengisi tulisan ini, saya upayakan untuk tidak menampilkan terlalu banyak informasi atau bagian yang krusial. Menurut saya pribadi sangat disarankan membaca keseluruhan isi novel ini karena review saya dan beberapa review lain yang sudah saya baca sebelumnya, sepertinya sengaja tidak merangkum kesan real yang didapat setelah membaca sampai tamat, mewakilkanpun tidak. 

Dari sisi terjemahan, saya terkesan dengan effort penerjemahnya. Sebelumnya, membaca novel Binatangisme (Animal Farm) dan Dinding (Sartre) tidak terasa semengalir 1984. Untuk kasus Dinding, bisa jadi saya yang memang belum mampu (dan belum saatnya) membaca karya tersebut, saya masih perlu mengerti banyak tentang eksistensialisme Sartre. Namun, Binatangisme yang sama-sama merupakan karya Orwell sepertinya bisa dijadikan pembanding. Dari sisi terjemahan, saya merasa 1984 lebih nyaman dibaca dibanding Binatangisme.


Mencekam kemudian mencabik-cabik perasaan... wkwk
Mungkin berlebihan tapi itulah yang saya rasakan ketika membaca bagian 1 dari novel 1984. Oh yaa... novel ini terdiri dari 3 bagian berdasarkan tema cerita dengan alur maju konvensional. Bagian satu terkesan lambat, menyebalkan, dan melelahkan, tetapi sekaligus mengesankan. Oceania dan rezim totalitarian arahan partai dengan Bung Besar sebagai sosok simbolik yang tidak hanya wajib ditakuti namun juga wajib dipuja, dibahas secara mendalam di bagian ini. Diceritakan pula peran Winston Smith sebagai tokoh utama yang merupakan anggota partai, namun senyatanya tidak sepakat dengan apa yang dilakukan partai. Deskripsi yang disajikan tentang bagaimana keberlangsungan kehidupan masyarakat Oceania dalam kuasa partai terpapar cantik dan ini yang membuat saya terkesan, sedangkan apa yang dipaparkan dari sisi isi dan penjabarannya yang panjang dan detail menjadi sisi yang melelahkan dan membuat saya berkali-kali menghela napas panjang, totaliter begitu membatasi, sedangkan saya cenderung tidak suka dibatasi, subjektif mungkin, tapi memang begitu adanya dan begitu menariknya...

Bagian kedua menyoroti cerita cinta Winston dengan Julia yang karena terjadi di rezim partai Bung Besar menjadi lebih rumit dari cinta yang tak direstui orang tua atau beda nomor urut pasangan cagub idola *halahhhh temponya lebih cepat dari bagian pertama, bagi penggemar kisah cinta "tidak umum" mungkin akan menjadikan pergulatan pasangan ini sebagai semacam relationshop goals. Saya pribadi bukan salah satunya, sebab saat ini sedang dalam posisi agak pesimis dengan jenis cinta-sensual terlebih sejenis yang mengedepankan ikatan (ngga ada yang nanya mbak, ngga adaa...). Bagian ketiga (ada sedikit spoiler, sebaiknya skip ke paragraf selanjutnya jika keberatan) merupakan bagian dengan tempo tercepat, saya cukup kewalahan karena bagian ini mengisahkan Winston yang tertangkap Polisi Pikiran. Apa itu Polisi Pikiran? Ya, dalam rezim totaliter Oceania jenis dan tugas polisi bukan hanya mencegah 'tindakan' yang melawan partai, namun juga 'pikiran' yang berpotensi melawan partai. Mengapa-nya diterangkan dalam bagian ketiga, sedangkan bagaimana-nya terangkum dalam bagian satu dan tervalidasi di bagian dua.

Dari rangkaian buku berformat novel yang sudah saya baca,  1984 salah satu yang sepertinya pantas saya beri predikat bintang lima. Selain dari sisi penokohan dan cerita, novel ini semacam menghadirkan puzzle yang potongannya belum lengkap, untuk melengkapi puzzle dalam pikiran saya tersebut, saya harus membaca dan mencari informasi dari sumber bacaan lain, ya.. saya suka buku yang membawa saya pada referensi tulisan, diantaranya suasana politik pada saat buku ini ditulis (tahun 1949), nazi Jerman, sosialisme Cina, komunisme Rusia, totalitarianisme itu sendiri, dan banyak lagi yang kemudian semacam menjadi PR untuk diri saya sendiri. Sisi baiknya, saya mulai tidak apatis membaca hal-hal berbau politik, sesuatu yang begitu saya benci ketika masa kuliah tatap muka dulu. Terakhir sebelum masuk ke quotes favorit, saya sangat suka cover hijau di edisi yang saya miliki, lagi-lagi simbolik, magis entah mengapa, terbaik!!


"... dalam permainan yang sedang kita mainkan ini, kita tidak bisa menang. Bentuk-bentuk kegagalan tertentu lebih baik daripada bentuk-bentuk kegagalan lain; hanya itu." (hal 169)

Buku itu merupakan hasil suatu pemikiran yang serupa pemikiran Winston sendiri, tetapi jauh lebih luas dan kuat, lebih sistematis, dan tidak sarat dengan ketakutan. Buku-buku terbaik, pikirnya, adalah yang mengatakan kepadamu hal-hal yang sudah kamu ketahui. (hal 251)

Namun , kemajuan di bidang kemakmuran, penghalusan perilaku, reformasi atau revolusi, belum pernah mendekatkan kita pada kesetaraan manusia barang satu milimeter pun. Dari titik pandang kelompok Rendah, segala perubahan historis tak lebih hanya berarti berubahnya nama majikan mereka. (hal 253)

Esensi pemerintahan oligarkis bukanlah pewarisan dari ayah ke anak, melainkan persistensi suatu pandangan-dunia tertentu dan suatu cara hidup tertentu, yang dipaksakan oleh orang-orang yang sudah mati atas orang-orang hidup. (hal 262)

"Waras atau tidak , bukanlah soal angka statistik" (hal 270)

"Orang-orang mati karena tidak mau melepaskan kepercayaan mereka yang sejati. Tentu saja segala kemuliaan menjadi milik korban dan seluruh aib tertimpakan pada Inkuisitor yang membakar mereka hidup-hidup" (hal 318)

"Perintah despotisme lama ialah 'Janganlah engkau...' Perintah kekuasaan totaliter ialah 'Kamu harus...' Sedangkan perintah kami berbunyi 'Engkau ialah...' Tidak seorangpun yang kami bawa ke tempat ini bertahan melawan kami." (hal 320)


"Apakah dia ada secara saya ada?"
"Kamu tidak ada"
(hal 325)

"Kuasa sejati, kuasa yang harus kami perjuangkan siang dan malam, bukanlah kuasa atas benda melainkan atas manusia" (hal 334)

Tidak akan ada seni, tidak ada kesusastraan, tidak ada sains... ...Segala kesenangan yang menjadi saingan akan dihancurkan. (hal 336)

Kewarasan adalah persoalan angka statistik. Ini hanyalah soal belajar dan berlatih berpikir seperti cara pikir mereka. Hanya--! (hal 348)

Untuk kali pertama Winston mengerti bahwa jika kau ingin menjaga rahasia, kau juga harus menyembunyikannya dari diri sendiri. (hal 353)

Sengaja yang berupa dialog tidak saya tuliskan penuturnya, mengko ndak spoiler ehhehehe