Kamis, 24 November 2016

Erich Fromm, The Art of Loving. Pandangan Kritis Tentang Manusia dan Cinta. Part 1.

Disclaimer : tulisan ini merupakan resum dari buku The Art of Loving karya Erich Fromm yang dibaca dan dipahami kemudian ditumpahkan dalam tulisan ‘baru’ oleh seorang wanita (perlu disebutkan, mungkin kalo masih ada yang meragukan) pembelajar pemula yang untuk menyelesaikan studi S1-nya saja butuh waktu 15 semester (masih otw, ada kemungkinan ngga lolos juga haha). Mbak-mbak lucu (oke, self claimed) yang lagi gumun-gumunnya sama banyak temuan baru di hidupnya belakangan meski akses terhadap temuan tersebut sebenarnya terbuka sejak lama, sehingga harap dimaklumi kalau masih dalam fase cukup norak dan bisa jadi ke-norak-an itu justru akan menjadi identitas yang sulit dilepaskan dari mbak-mbak lucu tersebut sampai kapanpun.
Edited by : Dian Septi Arthasalina

Hai…
Ya… sudah sangat lama sejak terakhir saya menambah tulisan di sini. Kagok cah, suwe gak gawe tulisan dowo, hahahaha oke oke tulisan dowoku sek mbiyen mbiyen juga ngono kae, memang belum berbakat, belum berarti akan, meski entah kapan.

Tulisan ini sepertinya akan cukup panjang, bukan resensi, mungkin bisa disebut resum dari pemikiran salah satu ilmuwan sosial abad 20, Erich Fromm. The Art of Loving atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Memaknai Hakikat Cinta menjadi buku dengan judul paling optimis dibandingkan beberapa buku yang saya beli belakangan, isinya juga demikian. Bahkan pengkritiknya pun ‘menyayangkan’ perkara optimisme dan sentuhan populernya. Baiklah, ini bisa dibahas nanti. Mari selesaikan, apa yang sudah dimulai.


Fromm memilih membuka keseluruhan tulisannya dengan paragraph berikut : “Apakah cinta adalah seni? Jika demikian, cinta mensyaratkan pengetahuan dan usaha.Ataukah cinta adalah suatu sensasi yang menyenangkan, di mana untuk mengalaminya adalah soal keberuntungan semata, sesuatu yang ‘hadir’ jika seseorang beruntung?Buku kecil ini didasarkan pada premis yang pertama, sementara dewasa ini niscaya sebagian besar orang percaya pada yang terakhir”.

 Selanjutnya Fromm menjelaskan mengapa manusia modern banyak yang menganggap bahwa tidak ada yang perlu dipelajari dari cinta, secara ringkas dapat dirangkum dalam 3 alasan berikut :
  1. Budaya kontemporer lebih berorientasi pada bagaimana berhasil menjadi sosok yang ‘dicintai’ daripada bagaimana seseorang memiliki kemampuan untuk ‘mencintai’. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang terlihat untuk mencapai titik tertentu seperti kesuksesan, kekuasaan, upaya agar ‘diterima’ dalam masyarakat, dan sebagainya.
  2.  Asumsi bahwa masalah cinta adalah masalah ‘objek’, bukan masalah ‘kemampuan’. Konsep baru tentang cinta yakni bentuk ‘cinta romantis’ yang berujung pada pernikahan, semakin mempertinggi arti penting ‘objek’ dibandingkan ‘kemampuan’. Berlaku bentuk orientasi pemasaran di mana perasaan jatuh cinta menjadi suatu komoditas manusia untuk melakukan pertukaran dengan tawar-menawar berbagai sifat ‘populer’.
  3. Pengalaman awal ‘jatuh cinta’ yang menakjubkan, menggairahkan, dan luar biasa menjadi membingungkan ketika pada fase berikutnya yakni pengalaman ‘berada’ dalam cinta menghilangkan banyak karakter menakjubkan,bahkan mulai terdapat berbagai pertentangan, kebosanan, dan kekecewaan. Permasalahannya adalah ketika mereka tidak menyadari hal ini di awal. Mereka saling menunjukkan intensitas ketertarikan, tergila-gila satu sama lain, sebagai bukti cinta mereka, meskipun hal itu hanya membuktikan tingkat kesepian mereka sebelumnya.

Hampir tidak ada aktivitas atau upaya yang dimulai dengan kerinduan dan pengharapan yang sedemikian dahsyat, walaupun selalu gagal, seperti cinta.Lalu apakah itu seni? Seni adalah serangkaian proses memahami dan menguasai teori , melakukan banyak praktek,  hingga hasil pengetahuan teoretis dan hasil praktik mendarah daging dan yang terpenting penguasaan atas seni harus menjadi pusat perhatian yang utama. Di sini mulai tampak jawaban mengapa budaya kita jarang mempelajari seni ini, karena betapapun mendalamnya kebutuhan akan cinta, selalu ada hal lain yang dipandang lebih penting di mana banyak orang rela menghabiskan energi dan waktu di dalamnya yakni kekuasaan, prestis, uang, dan kesuksesan.

Pada bagian kedua Fromm memasuki pembahasan teori cinta dengan kalimat awal teori apapun tentang cinta harus mulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia. Ketika terlahir sebagai manusia dan individu, manusia terlempar keluar dari situasi yang terbatas, sama terbatasnya dengan naluri, dan masuk dalam situasi yang tidak terbatas, tidak pasti, dan terbuka. Yang pasti hanyalah masa lalu, dan kepastian terjauh di masa depan semata-mata adalah kematian. Manusia dianugerahi rasio, ia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Hal ini menyebabkan suatu bentuk keterasingan atau keterpisahan manusia dari orang lain secara individu dan cinta menghadirkan sebentuk ‘penyatuan’ supaya seseorang tidak merasa keterpisahan menjadi ‘penjara yang menyakitkan’.Ketidakberdayaannya terhadap kekuatan alam dan masyarakat akan membuat manusia menjadi terganggu jiwanya jika tidak menyatukan diri dengan manusia lain dan dunia luar. Keterpisahan tanpa penyatuan akan menjadi sumber rasa bersalah dan kegelisahan. Lalu bagaimana seseorang mencapai penyatuan?Jawabannya tergantung pada tingkat individuasi yang dicapai oleh seorang individu. Semakin dewasa, tingkat individuasi cenderung semakin bertambah sehingga semakin membutuhkan cara baru untuk lepas dari keterpisahannya.

Fromm menyebutkan 3 cara untuk mencapai penyatuan yakni : kondisi orgiastik, konformitas, dan seni kreatif. Kondisi orgiastik merupakan salah satu cara mencapai penyatuan. Kondisi orgiastik dapat dicapai dengan berbagai keadaan trans yang disengaja sendiri maupun dengan bantuan obat-obatan atau materi tertentu. Fromm mencontohkan kondisi orgiastik di masa lalu dalam ritus pesta seks. Sebuah ritual yang dilakukan dalam kelompok akan membuat solusi menjadi jauh lebih efektif. Orgasme seksual dapat menghasilkan kondisi yang sama dengan pengaruh obat tertentu. Setelah melalui kondisi orgiastik, seseorang dapat melanjutkan hidupnya tanpa terlalu menderita meski setelahnya kecemasan lambat laun bertambah dan muncul kembali sehingga pelaksanan ritual secara berulang-ulang menjadi solusi yang mujarab. Ritual yang sudah menjadi tradisi dari sebuah suku tidak akan menimbulkan kecemasan atau rasa bersalah karena cara tersebut telah disahkan bahkan diharuskan oleh ‘petinggi’ mereka. Akan sangat terasa perbedaannya ketika disandingkan dengan misalnya alkoholisme atau seks bebas di masa sekarang. Masyarakat yang menganggap hal-hal tadi sebagai perilaku melanggar hukum akan membuat pelakunya berada pada kegelisahan yang lebih sehingga keterpisahan justru akan semakin terasa, terlebih tindakan seksual tanpa cinta tidak pernah menjembatani jurang antara dua manusia, kecuali untuk sesaat.

Ada sebuah premis yang mengatakan “jika saya sama seperti orang lain, jika saya tidak mempunyai perasaan atau pemikiran yang membuat saya berbeda, jika saya menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan, pakaian, gagasan, pada pola kelompok, saya aman; aman dari pengalaman kesendirian yang mencekam.” Inilah penyatuan yang banyak dipilih manusia masa sekarang, atau sering disebut konformitas di tingkat yang lebih luas dari individu (kelompok, masyarakat, negara).Sistem negara diktator menggunakan ancaman sedangkan negara demokrasi menggunakan saran dan propaganda untuk mencapai konformitas. Kadangkala rasionalisasinya menjadi ketakutan akan bahaya praksis yang mengancam bagi orang-orang non-konformis, walaupun sesungguhya orang lebih ingin melakukan konformitas sampai pada tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar ‘terpaksa’ melakukannya. Sebagian besar orang tidak menyadari kebutuhannya untuk melakukan konformitas, mereka hidup di bawah ilusi bahwa mereka mengikuti gagasan dan kehendak hatinya sendiri, bahwa pendapat mereka merupakan hasil pemikiran sendiri yang kebetulan sama dengan mayoritas orang. Karena masih adanya kebutuhan individu  untuk merasakan ‘perbedaan’, diciptakanlah berbagai ‘pembeda semu’ dalam berbagai slogan (misalnya dalam iklan atau media massa)  meskipun dapat ditarik kesimpulan menyedihkan bahwa pada kenyataannya perbedaan tersebut nyaris tidak ada.

Penghapusan perbedaan ini erat kaitannya dengan kesetaraan. Kesetaraan merupakan salah satu konsep pencerahan filsafat barat yang menurut Kant: berarti manusia tidak boleh menjadi alat bagi tujuan manusia lain, ini berarti penghapusan eksploitasi, tidak peduli yang bersifat kejam atau ‘manusiawi’. Dalam konsep agama, disebutkan kesetaraan adalah bahwa kita semua sama, ciptaan Tuhan. Kesimpulannya adalah setiap perbedaan individu harus dihormati karena setiap dari kita adalah entitas yang unik.Sayangnya, dewasa ini, kesetaraan lebih sering diartikan sebagai ‘kesamaan’ daripada ‘kesatuan’.Pandangan kritis selanjutnya terangkum dalam kalimat “manusia menjadi makhluk sembilan jam untuk uang kertas lima dolar”, tugasnya sudah ditentukan dengan sistem berjenjang, bahkan perasaan pun ditentukan : keceriaan, kepercayaan, tenggang rasa, kemampuan bersosialisasi, dan ambisi. Kemudian akhir minggu dianggap sebagai hari ‘bersenang-senang’.Begitu berulang dari Senin ke Senin, dari lahir hingga mati, bahkan pemakaman sebagai urusan sosial paling penting terakhir, benar-benar disesuaikan dengan polanya.

Cara terakhir mencapai penyatuan terletak pada aktivitas kreatif, yakni aktivitas mencipta di mana seseorang menyatukan diri dengan karyanya yang mencerminkan dunia di luar dirinya. Hal ini hanya berlaku untuk kerja produktif di mana seseorang merencanakan, menghasilkan, dan menyaksikan hasil kerjanya, bukan ketika menjadi ‘alat’ bagi tujuan orang lain.

Lalu bagaimana yang dimaksud dengan cinta? Fromm menyebut bahwa cinta yang dewasa mampu menjadi jawaban paling waras atas masalah eksistensi, dalam pembahasan mengenai hal ini Fromm mengemukakan terlebih dahulu pandangan sebaliknya, yakni bentuk-bentuk cinta ‘tidak dewasa’ atau biasa disebut penyatuan simbiosis. Bentuk pasif dari penyatuan simbiosis adalah ketertundukan atau masokhisme. Pribadi masokhis keluar dari keterpisahan dengan menjadikan dirinya bingkisan bagi pribadi lain yang mengatur dan melindungi dirinya; seolah-olah menjadi hidup dan daya hidupnya; merasa menjadi bukan apa-apa jika tidak menjadi bagian darinya. Pribadi masokhis tidak mengambil keputusan dan resiko, ia tidak pernah sendiri, namun tidak independen, bahkan tidak memiliki integritas, ia sudah merasa tidak perlu menyelesaikan masalah hidupnya dengan aktivitas produktif.

Bentuk aktif dari peleburan simbiosis adalah dominasi atau sadisme. Pribadi ini ingin keluar dari kesendiriannya dengan menjadikan orang lain bagian dari dirinya, orang lain yang memujanya. Pribadi sadistis dan masokhis masing-masing saling tidak dapat hidup tanpa yang lainnya.Di tingkat permukaan, pribadi sadistis memerintah, mengeksploitasi, menyakiti, sedang masokhis sebaliknya, menjadi objek.Di tingkat emosional justru perbedaannya tidak terlalu besar, bahkan memiliki kesamaan yakni peleburan tanpa integritas.Berkebalikan dari keduanya, cinta yang ‘dewasa’ ialah penyatuan di dalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia; kekuatan yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan orang lain; cinta membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan keterpisahan, namun tetap memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri, mempertahankan integritasnya. Dalam cinta terdapat paradoks, bahwa dua insan menjadi satu, namun tetap dua.

Cinta adalah suatu tindakan, bukan kekuatan pasif; cinta berarti ‘bertahan di dalam’ (standing in-), bukan ‘jatuh’ (falling for-). Karakter aktif secara umum dapat dirumuskan bahwa cinta pertama-tama memberi, bukan menerima.‘Memberi’ adalah konsep yang terdengar sederhana, namun pada kenyataannya cukup rumit.Kesalahpahaman terutama terkait dengan memberi yang diandaikan sebagai penyerahan sesuatu, kehilangan, atau pengorbanan.Memberi bagi karakter yang produktif menjadikan dirinya merasa memiliki kekuatan, kekayaan, dan kebahagiaan. Memberi merupakan perwujudan dari menjadikan diri berguna bagi orang lain dan merasakan bahwa dirinya benar-benar hidup. Wilayah paling penting dari memberi bukanlah wilayah materi, namun seseorang memberikan yang paling penting; yakni hidupnya, dirinya, kepada orang lain. Tidak selalu berarti mengorbankan hidupnya, namun ia bisa memberikan apa yang hidup di dalam dirinya, kebahagiaan, minat, pemahaman, pengetahuan, kejenakaan, bahkan kesedihannya. Ia memperkaya orang lain, sekaligus melejitkan kepenuhan hidupnya sendiri. Sehingga, cinta adalah suatu kekuatan yang seharusnya kembali melahirkan cinta, oleh karena itu pribadi yang mencapai perkembangan karakter hingga titik tertentu, seringkali takut memberikan diri dan cintanya, karena merasa belum memiliki karakter ‘memberi’ tersebut.

Pembahasan selanjutnya mengemukakan 4 unsur dalam cinta yang dapat dirangkum sebagai berikut :
  1. Perhatian : cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan, cinta adalah ‘berjerih payah’ mendapatkan sesuatu dan membuatnya tumbuh.
  2. Tanggung jawab : tanggung jawab tidak dapat disamakan arti dengan kewajiban, tanggung jawab bersifat sukarela, terhadap kebutuhan manusia lain, merasa bertanggung jawab terhadap sesamanya.
  3. Rasa hormat : kemampuan untuk melihat seseorang sebagaimana adanya dan menyadari individualitasnya yang unik. Saya menginginkan orang yang saya cintai tumbuh demi dirinya sendiri, dengan caranya,bukan demi saya, sehingga tidak ada eksploitasi. Cinta adalah anak kebebasan, bukan eksploitasi.
  4. Pengetahuan : pengetahuan diperoleh dalam tindakan ’melebur’. Dalam ‘melebur’, saya mengenal anda, saya mengenal diri saya sendiri, saya mengenal semua orang, dan saya menyadari bahwa ternyata saya ‘tidak tahu apa-apa’

Fromm kemudian juga menjelaskan tentang ‘cinta ayah’ dan ’cinta ibu’.Cinta ayah dan cinta ibu di sini bukan berarti generalisasi ataupun polarisasi. Fromm lebih menekankan pada penjelasan mengenai salah satu unsur pembentuk pribadi seseorang berdasarkan fasenya, sama sekali bukan berarti makna sebenarnya, tidak berarti semua ayah di dunia memiliki sifat ‘cinta ayah’ begitupun ibu seperti penjelasannya.

Pengalaman ‘cinta ibu’ dapat dirangkum sebagai cinta yang pasif.Sosok ibu adalah sosok yang mencintai tanpa syarat. Ibu akan mencintai anaknya tanpa anaknya perlu melakukan hal apapun. Cinta ibu tidak perlu diminta, namun juga tidak dapat dicari dan dikendalikan. Cinta ibu adalah’penyatuan’ bagi bayi yang baru lahir hingga menginjak usia anak, di masa ini seseorang tidak memerlukan ‘penyatuan’ lain karena cinta ibu sudah cukup menghilangkan ’keterasingan’. Masa selanjutnya, ketika interaksi dengan orang lain sudah mulai diperkenalkan, sifat ‘cinta ayah’ juga dirasa mulai lebih diperlukan. ‘cinta ayah’mewakili kutub eksistensi manusia yakni dunia pemikiran,penciptaan, hukum, disiplin, perjalanan, dan petualangan. ‘Cinta ayah’ adalah cinta yang bersyarat dengan prinsip ‘aku mencintaimu karena kamu memenuhi harapanku’. Cinta ayah bisa dikendalikan, seperti sistem barter, dengan memenuhi semua harapan ayah, ayah akan memberikan cintanya.


Bersambung di part 2 yang akan membahas tentang obyek cinta (cinta diri, cinta erotis, cinta ibu, cinta sesama, dan cinta kepada tuhan), kehancuran makna cinta akibat dominasi cinta semu, cinta rasional dan cinta irasional, serta pembahasan tentang praktik cinta. Semoga bermanfaat ^^