Disclaimer : tulisan ini merupakan resum dari buku The Art
of Loving karya Erich Fromm yang dibaca dan dipahami kemudian ditumpahkan dalam
tulisan ‘baru’ oleh seorang wanita (perlu disebutkan, mungkin kalo masih ada
yang meragukan) pembelajar pemula yang untuk menyelesaikan studi S1-nya saja
butuh waktu 15 semester (masih otw, ada kemungkinan ngga lolos juga haha).
Mbak-mbak lucu (oke, self claimed) yang lagi gumun-gumunnya sama banyak temuan
baru di hidupnya belakangan meski akses terhadap temuan tersebut sebenarnya
terbuka sejak lama, sehingga harap dimaklumi kalau masih dalam fase cukup norak
dan bisa jadi ke-norak-an itu justru akan menjadi identitas yang sulit
dilepaskan dari mbak-mbak lucu tersebut sampai kapanpun.
Edited by : Dian Septi Arthasalina
Hai…
Ya… sudah sangat lama sejak terakhir saya menambah tulisan
di sini. Kagok cah, suwe gak gawe tulisan dowo, hahahaha oke oke tulisan dowoku
sek mbiyen mbiyen juga ngono kae, memang belum berbakat, belum berarti akan,
meski entah kapan.
Tulisan ini sepertinya akan cukup panjang, bukan resensi,
mungkin bisa disebut resum dari pemikiran salah satu ilmuwan sosial abad 20,
Erich Fromm. The Art of Loving atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi Memaknai Hakikat Cinta menjadi buku dengan judul paling optimis dibandingkan
beberapa buku yang saya beli belakangan, isinya juga demikian. Bahkan
pengkritiknya pun ‘menyayangkan’ perkara optimisme dan sentuhan populernya.
Baiklah, ini bisa dibahas nanti. Mari selesaikan, apa yang sudah dimulai.
Fromm memilih membuka keseluruhan tulisannya dengan
paragraph berikut : “Apakah cinta adalah seni? Jika demikian, cinta
mensyaratkan pengetahuan dan usaha.Ataukah cinta adalah suatu sensasi yang
menyenangkan, di mana untuk mengalaminya adalah soal keberuntungan semata,
sesuatu yang ‘hadir’ jika seseorang beruntung?Buku kecil ini didasarkan pada
premis yang pertama, sementara dewasa ini niscaya sebagian besar orang percaya
pada yang terakhir”.
Selanjutnya Fromm
menjelaskan mengapa manusia modern banyak yang menganggap bahwa tidak ada yang
perlu dipelajari dari cinta, secara ringkas dapat dirangkum dalam 3 alasan
berikut :
- Budaya kontemporer lebih berorientasi pada
bagaimana berhasil menjadi sosok yang ‘dicintai’ daripada bagaimana seseorang
memiliki kemampuan untuk ‘mencintai’. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang
terlihat untuk mencapai titik tertentu seperti kesuksesan, kekuasaan, upaya
agar ‘diterima’ dalam masyarakat, dan sebagainya.
- Asumsi bahwa masalah cinta adalah masalah
‘objek’, bukan masalah ‘kemampuan’. Konsep baru tentang cinta yakni bentuk ‘cinta
romantis’ yang berujung pada pernikahan, semakin mempertinggi arti penting
‘objek’ dibandingkan ‘kemampuan’. Berlaku bentuk orientasi pemasaran di mana
perasaan jatuh cinta menjadi suatu komoditas manusia untuk melakukan pertukaran
dengan tawar-menawar berbagai sifat ‘populer’.
- Pengalaman awal ‘jatuh cinta’ yang menakjubkan,
menggairahkan, dan luar biasa menjadi membingungkan ketika pada fase berikutnya
yakni pengalaman ‘berada’ dalam cinta menghilangkan banyak karakter menakjubkan,bahkan
mulai terdapat berbagai pertentangan, kebosanan, dan kekecewaan.
Permasalahannya adalah ketika mereka tidak menyadari hal ini di awal. Mereka
saling menunjukkan intensitas ketertarikan, tergila-gila satu sama lain,
sebagai bukti cinta mereka, meskipun hal itu hanya membuktikan tingkat kesepian
mereka sebelumnya.
Hampir tidak ada aktivitas atau upaya yang dimulai dengan
kerinduan dan pengharapan yang sedemikian dahsyat, walaupun selalu gagal,
seperti cinta.Lalu apakah itu seni? Seni adalah serangkaian proses memahami dan
menguasai teori , melakukan banyak praktek,
hingga hasil pengetahuan teoretis dan hasil praktik mendarah daging dan
yang terpenting penguasaan atas seni harus menjadi pusat perhatian yang utama.
Di sini mulai tampak jawaban mengapa budaya kita jarang mempelajari seni ini,
karena betapapun mendalamnya kebutuhan akan cinta, selalu ada hal lain yang
dipandang lebih penting di mana banyak orang rela menghabiskan energi dan waktu
di dalamnya yakni kekuasaan, prestis, uang, dan kesuksesan.
Pada bagian kedua Fromm memasuki pembahasan teori cinta
dengan kalimat awal teori apapun tentang
cinta harus mulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia.
Ketika terlahir sebagai manusia dan individu, manusia terlempar keluar dari
situasi yang terbatas, sama terbatasnya dengan naluri, dan masuk dalam situasi
yang tidak terbatas, tidak pasti, dan terbuka. Yang pasti hanyalah masa lalu,
dan kepastian terjauh di masa depan semata-mata adalah kematian. Manusia
dianugerahi rasio, ia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Hal ini
menyebabkan suatu bentuk keterasingan atau keterpisahan manusia dari orang lain
secara individu dan cinta menghadirkan sebentuk ‘penyatuan’ supaya seseorang
tidak merasa keterpisahan menjadi ‘penjara yang menyakitkan’.Ketidakberdayaannya
terhadap kekuatan alam dan masyarakat akan membuat manusia menjadi terganggu
jiwanya jika tidak menyatukan diri dengan manusia lain dan dunia luar.
Keterpisahan tanpa penyatuan akan menjadi sumber rasa bersalah dan kegelisahan.
Lalu bagaimana seseorang mencapai penyatuan?Jawabannya tergantung pada tingkat
individuasi yang dicapai oleh seorang individu. Semakin dewasa, tingkat
individuasi cenderung semakin bertambah sehingga semakin membutuhkan cara baru
untuk lepas dari keterpisahannya.
Fromm menyebutkan 3 cara untuk mencapai penyatuan yakni :
kondisi orgiastik, konformitas, dan seni kreatif. Kondisi orgiastik merupakan
salah satu cara mencapai penyatuan. Kondisi orgiastik dapat dicapai dengan
berbagai keadaan trans yang disengaja sendiri maupun dengan bantuan obat-obatan
atau materi tertentu. Fromm mencontohkan kondisi orgiastik di masa lalu dalam
ritus pesta seks. Sebuah ritual yang dilakukan dalam kelompok akan membuat
solusi menjadi jauh lebih efektif. Orgasme seksual dapat menghasilkan kondisi
yang sama dengan pengaruh obat tertentu. Setelah melalui kondisi orgiastik,
seseorang dapat melanjutkan hidupnya tanpa terlalu menderita meski setelahnya
kecemasan lambat laun bertambah dan muncul kembali sehingga pelaksanan ritual
secara berulang-ulang menjadi solusi yang mujarab. Ritual yang sudah menjadi
tradisi dari sebuah suku tidak akan menimbulkan kecemasan atau rasa bersalah
karena cara tersebut telah disahkan bahkan diharuskan oleh ‘petinggi’ mereka. Akan
sangat terasa perbedaannya ketika disandingkan dengan misalnya alkoholisme atau
seks bebas di masa sekarang. Masyarakat yang menganggap hal-hal tadi sebagai
perilaku melanggar hukum akan membuat pelakunya berada pada kegelisahan yang
lebih sehingga keterpisahan justru akan semakin terasa, terlebih tindakan
seksual tanpa cinta tidak pernah menjembatani jurang antara dua manusia,
kecuali untuk sesaat.
Ada sebuah premis yang mengatakan “jika saya sama seperti
orang lain, jika saya tidak mempunyai perasaan atau pemikiran yang membuat saya
berbeda, jika saya menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan, pakaian, gagasan,
pada pola kelompok, saya aman; aman dari pengalaman kesendirian yang mencekam.”
Inilah penyatuan yang banyak dipilih manusia masa sekarang, atau sering disebut
konformitas di tingkat yang lebih luas dari individu (kelompok, masyarakat,
negara).Sistem negara diktator menggunakan ancaman sedangkan negara demokrasi
menggunakan saran dan propaganda untuk mencapai konformitas. Kadangkala
rasionalisasinya menjadi ketakutan akan bahaya praksis yang mengancam bagi
orang-orang non-konformis, walaupun sesungguhya orang lebih ingin melakukan
konformitas sampai pada tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar ‘terpaksa’
melakukannya. Sebagian besar orang tidak menyadari kebutuhannya untuk melakukan
konformitas, mereka hidup di bawah ilusi bahwa mereka mengikuti gagasan dan
kehendak hatinya sendiri, bahwa pendapat mereka merupakan hasil pemikiran
sendiri yang kebetulan sama dengan mayoritas orang. Karena masih adanya
kebutuhan individu untuk merasakan
‘perbedaan’, diciptakanlah berbagai ‘pembeda semu’ dalam berbagai slogan
(misalnya dalam iklan atau media massa) meskipun dapat ditarik kesimpulan menyedihkan
bahwa pada kenyataannya perbedaan tersebut nyaris tidak ada.
Penghapusan perbedaan ini erat kaitannya dengan kesetaraan.
Kesetaraan merupakan salah satu konsep pencerahan filsafat barat yang menurut
Kant: berarti manusia tidak boleh menjadi alat bagi tujuan manusia lain, ini
berarti penghapusan eksploitasi, tidak peduli yang bersifat kejam atau
‘manusiawi’. Dalam konsep agama, disebutkan kesetaraan adalah bahwa kita semua
sama, ciptaan Tuhan. Kesimpulannya adalah setiap perbedaan individu harus
dihormati karena setiap dari kita adalah entitas yang unik.Sayangnya, dewasa ini,
kesetaraan lebih sering diartikan sebagai ‘kesamaan’ daripada ‘kesatuan’.Pandangan
kritis selanjutnya terangkum dalam kalimat “manusia menjadi makhluk sembilan jam untuk
uang kertas lima dolar”, tugasnya sudah ditentukan dengan sistem
berjenjang, bahkan perasaan pun ditentukan : keceriaan, kepercayaan, tenggang
rasa, kemampuan bersosialisasi, dan ambisi. Kemudian akhir minggu dianggap
sebagai hari ‘bersenang-senang’.Begitu berulang dari Senin ke Senin, dari lahir
hingga mati, bahkan pemakaman sebagai urusan sosial paling penting terakhir,
benar-benar disesuaikan dengan polanya.
Cara terakhir mencapai penyatuan terletak pada aktivitas
kreatif, yakni aktivitas mencipta di mana seseorang menyatukan diri dengan
karyanya yang mencerminkan dunia di luar dirinya. Hal ini hanya berlaku untuk
kerja produktif di mana seseorang merencanakan, menghasilkan, dan menyaksikan
hasil kerjanya, bukan ketika menjadi ‘alat’ bagi tujuan orang lain.
Lalu bagaimana yang dimaksud dengan cinta? Fromm menyebut
bahwa cinta yang dewasa mampu menjadi jawaban paling waras atas masalah eksistensi,
dalam pembahasan mengenai hal ini Fromm mengemukakan terlebih dahulu pandangan
sebaliknya, yakni bentuk-bentuk cinta ‘tidak dewasa’ atau biasa disebut penyatuan simbiosis. Bentuk pasif dari
penyatuan simbiosis adalah ketertundukan atau masokhisme. Pribadi masokhis
keluar dari keterpisahan dengan menjadikan dirinya bingkisan bagi pribadi lain
yang mengatur dan melindungi dirinya; seolah-olah menjadi hidup dan daya
hidupnya; merasa menjadi bukan apa-apa jika tidak menjadi bagian darinya.
Pribadi masokhis tidak mengambil keputusan dan resiko, ia tidak pernah sendiri,
namun tidak independen, bahkan tidak memiliki integritas, ia sudah merasa tidak
perlu menyelesaikan masalah hidupnya dengan aktivitas produktif.
Bentuk aktif dari peleburan simbiosis adalah dominasi atau
sadisme. Pribadi ini ingin keluar dari kesendiriannya dengan menjadikan orang
lain bagian dari dirinya, orang lain yang memujanya. Pribadi sadistis dan
masokhis masing-masing saling tidak dapat hidup tanpa yang lainnya.Di tingkat
permukaan, pribadi sadistis memerintah, mengeksploitasi, menyakiti, sedang
masokhis sebaliknya, menjadi objek.Di tingkat emosional justru perbedaannya
tidak terlalu besar, bahkan memiliki kesamaan yakni peleburan tanpa integritas.Berkebalikan
dari keduanya, cinta yang ‘dewasa’ ialah penyatuan di dalam kondisi tetap
memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang. Cinta adalah
kekuatan aktif dalam diri manusia; kekuatan yang meruntuhkan tembok yang
memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan orang lain;
cinta membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan keterpisahan, namun tetap
memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri, mempertahankan integritasnya.
Dalam cinta terdapat paradoks, bahwa dua insan menjadi satu, namun tetap dua.
Cinta adalah suatu tindakan, bukan kekuatan pasif; cinta
berarti ‘bertahan di dalam’ (standing in-),
bukan ‘jatuh’ (falling for-).
Karakter aktif secara umum dapat dirumuskan bahwa cinta pertama-tama memberi,
bukan menerima.‘Memberi’ adalah konsep yang terdengar sederhana, namun pada
kenyataannya cukup rumit.Kesalahpahaman terutama terkait dengan memberi yang
diandaikan sebagai penyerahan sesuatu, kehilangan, atau pengorbanan.Memberi bagi
karakter yang produktif menjadikan dirinya merasa memiliki kekuatan, kekayaan,
dan kebahagiaan. Memberi merupakan perwujudan dari menjadikan diri berguna bagi
orang lain dan merasakan bahwa dirinya benar-benar hidup. Wilayah paling
penting dari memberi bukanlah wilayah materi, namun seseorang memberikan yang
paling penting; yakni hidupnya, dirinya, kepada orang lain. Tidak selalu
berarti mengorbankan hidupnya, namun ia bisa memberikan apa yang hidup di dalam
dirinya, kebahagiaan, minat, pemahaman, pengetahuan, kejenakaan, bahkan kesedihannya.
Ia memperkaya orang lain, sekaligus melejitkan kepenuhan hidupnya sendiri.
Sehingga, cinta adalah suatu kekuatan yang seharusnya kembali melahirkan cinta,
oleh karena itu pribadi yang mencapai perkembangan karakter hingga titik
tertentu, seringkali takut memberikan diri dan cintanya, karena merasa belum
memiliki karakter ‘memberi’ tersebut.
Pembahasan selanjutnya mengemukakan 4 unsur dalam cinta yang
dapat dirangkum sebagai berikut :
- Perhatian : cinta adalah perhatian aktif pada
kehidupan dan pertumbuhan, cinta adalah ‘berjerih payah’ mendapatkan sesuatu
dan membuatnya tumbuh.
- Tanggung jawab : tanggung jawab tidak dapat
disamakan arti dengan kewajiban, tanggung jawab bersifat sukarela, terhadap
kebutuhan manusia lain, merasa bertanggung jawab terhadap sesamanya.
- Rasa hormat : kemampuan untuk melihat seseorang
sebagaimana adanya dan menyadari individualitasnya yang unik. Saya menginginkan
orang yang saya cintai tumbuh demi dirinya sendiri, dengan caranya,bukan demi
saya, sehingga tidak ada eksploitasi. Cinta adalah anak kebebasan, bukan
eksploitasi.
- Pengetahuan : pengetahuan diperoleh dalam
tindakan ’melebur’. Dalam ‘melebur’, saya mengenal anda, saya mengenal diri
saya sendiri, saya mengenal semua orang, dan saya menyadari bahwa ternyata saya
‘tidak tahu apa-apa’
Fromm kemudian juga menjelaskan tentang ‘cinta ayah’ dan
’cinta ibu’.Cinta ayah dan cinta ibu di sini bukan berarti generalisasi ataupun
polarisasi. Fromm lebih menekankan pada penjelasan mengenai salah satu unsur
pembentuk pribadi seseorang berdasarkan fasenya, sama sekali bukan berarti
makna sebenarnya, tidak berarti semua ayah di dunia memiliki sifat ‘cinta ayah’
begitupun ibu seperti penjelasannya.
Pengalaman ‘cinta ibu’ dapat dirangkum sebagai cinta yang
pasif.Sosok ibu adalah sosok yang mencintai tanpa syarat. Ibu akan mencintai
anaknya tanpa anaknya perlu melakukan hal apapun. Cinta ibu tidak perlu
diminta, namun juga tidak dapat dicari dan dikendalikan. Cinta ibu
adalah’penyatuan’ bagi bayi yang baru lahir hingga menginjak usia anak, di masa
ini seseorang tidak memerlukan ‘penyatuan’ lain karena cinta ibu sudah cukup menghilangkan
’keterasingan’. Masa selanjutnya, ketika interaksi dengan orang lain sudah
mulai diperkenalkan, sifat ‘cinta ayah’ juga dirasa mulai lebih diperlukan. ‘cinta
ayah’mewakili kutub eksistensi manusia yakni dunia pemikiran,penciptaan, hukum,
disiplin, perjalanan, dan petualangan. ‘C
inta ayah’
adalah cinta yang bersyarat dengan prinsip ‘aku mencintaimu karena kamu
memenuhi harapanku’. Cinta ayah bisa dikendalikan, seperti sistem barter,
dengan memenuhi semua harapan ayah, ayah akan memberikan cintanya.
Bersambung di part 2 yang akan membahas tentang obyek cinta
(cinta diri, cinta erotis, cinta ibu, cinta sesama, dan cinta kepada tuhan),
kehancuran makna cinta akibat dominasi cinta semu, cinta rasional dan cinta
irasional, serta pembahasan tentang praktik cinta. Semoga bermanfaat ^^